🗺️ Sitemap 🏠 Home

Kisah Amr bin al-‘Āsh

Cerdik sejak kecil, ambisius di masa muda, diplomasi tajam — lalu berjumpa dengan cahaya yang tak bisa ditaklukkan.

Bacaan santai • Tampilan ceria • Responsif

🌟 Kelahiran dan Masa Kecil

Ilustrasi Amr bin al-‘Āsh di Makkah
Amr bin al-‘Āsh kecil di Makkah, tumbuh di keluarga bangsawan Quraisy.

Makkah, tahun-tahun sebelum cahaya risalah turun. Di rumah bangsawan Quraisy Bani Sahm lahirlah bayi laki-laki: Amr bin al-‘Āsh, putra al-‘Āsh bin Wā’il—pembesar disegani yang kelak menentang dakwah Muhammad ﷺ.

Amr tumbuh dalam lingkungan yang keras dan berkelas. Ia belajar menunggang kuda, memanah, berdebat. Ibunya menanamkan standar tinggi: keberanian, kecerdikan, dan kehormatan kabilah.

“Anakku, kelak engkau akan jadi pemimpin. Kata-katamu harus lebih tajam dari pedangmu, dan akalmu harus lebih cerdik dari tombakmu.”

Sejak kecil kecerdikannya menonjol—kadang mendamaikan, kadang mengatur arah pertengkaran agar semua berpihak padanya. Ia memahami: pengaruh sering lebih kuat dari otot.

➡️ Dari masa kecil yang penuh ambisi ini, mari kita ikuti jejaknya menuju remaja dan awal karier diplomasi.

Masa remaja: cerdik dan ambisius

Di pasar-pasar Makkah, Amr berdiri angkuh dengan sorban hitam. Matanya tajam, lisannya fasih. Ia cepat menguasai seni diplomasi—warisan ayahnya di ruang-ruang keputusan.

“Serahkan masalahmu padaku. Orang Quraisy tidak akan berani menolak jika Amr bin al-‘Āsh yang bicara.”

Ia menolong pedagang Yaman yang ditipu, membuatnya kembali mendapatkan hak—dan dirinya memperoleh bagian. Orang-orang menyebutnya “pedang yang tak terlihat”: menaklukkan tanpa menghunus senjata.

Ambisi bukan sekadar urat nadi—itu arah hidupnya. Amr ingin namanya ditulis tebal dalam sejarah Quraisy, bukan sekadar bayang-bayang ayahnya.

Ambisi politik

Ketika perebutan pengaruh memanas, nama Amr mulai masuk daftar. Ia muda, namun sudah sering duduk di majelis pembesar. Kefasihan bicara adalah tiket masuknya.

Abu Sufyan berbisik: “Jika bukan karena usianya, tentu ia sudah duduk bersama kita dalam urusan besar. Lihatlah, ia pandai berbicara seperti singa mengaum, namun juga lembut seperti air menyejukkan.”

Di balik pujian, ada bara ambisi. Amr ingin memimpin, disegani seluruh Arab. Ia membaca medan, membangun jaringan, dan menjaga citra: keras saat perlu, cair saat berguna.

Namun ambisi selalu diuji—oleh arus besar yang tak bisa ditahan. Di Makkah, arus itu bernama risalah.

Diplomat Quraisy dan cahaya risalah

Saat Muhammad ﷺ menyeru kepada tauhid, Amr menolak. Baginya, ajakan itu mengancam kehormatan Quraisy—dan rencana hidupnya.

Di dekat Ka‘bah ia lantang: “Jika Muhammad berhasil memecah Quraisy, darah dan kemuliaan kita akan hancur. Demi Lata dan Uzza, kita harus cegah dia dengan apa pun.”

Kecerdikan bicara membuatnya dipercaya menjadi utusan ke Habasyah, menemui Raja Najāshī, meminta agar kaum Muslimin yang berhijrah dikembalikan.

Amr datang dengan kata-kata indah, memuji raja, menjelekkan orang-orang beriman. Namun kali ini lidahnya tak menang.

Ja‘far bin Abī Thālib membacakan ayat-ayat Maryam. Air mata Najāshī jatuh; ia menolak permintaan Quraisy.

Amr pulang muram. Di sana ia merasakan—ada kekuatan yang tak ditaklukkan oleh retorika: kebenaran yang menyentuh hati. Mungkin itu pertama kalinya ambisi menunduk pada cahaya.

Jalan Menuju Islam (8 H / 630 M)

Malam itu, di Makkah yang lengang, Amr bin al-‘Āsh duduk termenung. Ia memandang langit penuh bintang, namun hatinya gelisah. Selama bertahun-tahun ia melawan Muhammad ﷺ, menyusun siasat, bahkan menjadi diplomat Quraisy. Namun semua upaya itu gagal—Islam justru semakin kuat.

“Jika Muhammad menang atas kita, apa yang tersisa untuk Amr bin al-‘Āsh? Haruskah aku terus menjadi musuh kebenaran yang tak bisa dikalahkan?”

Kabar kemenangan di Khaybar dan perjanjian Hudaibiyah membuatnya sadar: Quraisy sedang kalah dalam pertarungan sejarah.

Pertemuan Rahasia

Suatu hari, Amr bertemu dengan Khalid bin Walid dan Utsman bin Thalhah di luar Makkah. Mereka saling berpandangan dengan wajah penuh beban.

Khalid berkata: “Wahai Amr, kita sudah melawan Muhammad dengan segala cara. Tapi tidakkah kau lihat? Demi Allah, ia selalu menang. Aku mulai yakin, ia benar-benar nabi yang diutus Allah.”

Utsman menimpali bahwa tidak ada gunanya terus berada di pihak yang kalah. Amr ragu, takut dosanya tak diampuni. Namun Khalid menenangkannya: Muhammad ﷺ bukan pendendam, beliau pemaaf.

Perjalanan ke Madinah

Mereka bertiga memutuskan pergi ke Madinah. Hati Amr berdebar, seakan meninggalkan masa lalu menuju lembaran baru. Sesampainya di Masjid Nabawi, Rasulullah ﷺ menyambut dengan senyum yang menenangkan hati.

Amr tertegun: “Beginikah wajah seorang nabi? Tidak ada marah, tidak ada dendam. Hanya cahaya dan kasih sayang.”

Baiat Amr bin al-‘Āsh

Amr maju dengan langkah berat. Ia ingin mengucapkan syahadat, namun tangannya bergetar. Rasulullah ﷺ mengulurkan tangan, tetapi Amr menahannya.

Rasulullah ﷺ bertanya: “Apa yang menghalangimu, wahai Amr?”

Amr lirih: “Aku ingin syarat, ya Rasulullah… semoga Allah mengampuni semua dosaku yang telah lalu.”

Beliau bersabda: “Wahai Amr, tidakkah engkau tahu? Islam menghapus dosa-dosa sebelumnya. Hijrah menghapus apa yang sebelumnya. Dan haji juga menghapus dosa-dosa yang lalu.”

Air mata Amr jatuh. Ia pun bersyahadat dengan lantang. Masjid bergemuruh dengan takbir para sahabat.

Awal Baru

Hari itu, Amr bin al-‘Āsh tidak hanya masuk Islam. Ia meninggalkan masa lalunya yang penuh tipu daya, lalu memulai jalan baru sebagai hamba Allah.

“Dulu aku adalah musuh Muhammad, kini aku menjadi sahabatnya. Dulu aku mengangkat pedang untuk melawan Islam, kini pedangku akan kujatuhkan demi membela agama ini.”

Tak lama setelah itu, Rasulullah ﷺ mempercayakan kepadanya memimpin ekspedisi Dhat as-Salasil. Bukti betapa cepatnya Amr mendapatkan kepercayaan, meski ia baru saja masuk Islam.

Penaklukan Mesir (639–642 M / 19–21 H)

Madinah, tahun 19 H. Khalifah Umar bin Khattab r.a. menunjuk Amr bin al-‘Āsh memimpin pasukan menuju Mesir—negeri kaya di bawah Bizantium. Umar berkata:

“Wahai Amr, engkau cerdas, licin seperti ular, namun tajam seperti pedang. Aku percayakan negeri itu kepadamu.”

Amr menjawab penuh keyakinan: “Demi Allah, aku akan menaklukkan Mesir hingga azan berkumandang di menara-menara Alexandria.”

Perjalanan Pasukan

Dengan 4.000 pasukan, Amr melintasi padang pasir Sinai. Panas membakar, debu menyesakkan, namun doa dan takbir menguatkan langkah.

“Wahai sahabat-sahabatku, kita bukan keluar untuk dunia. Kita datang demi kalimat Allah. Jika Mesir terbuka, ia akan menjadi benteng Islam di barat.”

Pertempuran al-Farma

Gerbang pertama Mesir adalah al-Farma. Pertempuran berlangsung berhari-hari. Panah berdesingan, tombak menembus perisai, takbir menggema.

“Bukankah kita berperang bukan dengan kekuatan kita, tapi dengan pertolongan Allah? Majulah! Surga di depan kalian!”

Akhirnya, al-Farma jatuh. Pintu Mesir terbuka.

Heliopolis (Ain Syams)

Pasukan Romawi jauh lebih besar. Amr menggunakan siasat: memecah pasukan, menyerang dari berbagai arah. Ia berbisik kepada panglimanya:

“Biarkan mereka merasa unggul. Saat lengah, kita kepung dari kiri dan kanan. Inilah saatnya ular menerkam mangsanya.”

Strategi itu berhasil. Romawi kocar-kacir.

Pengepungan Babilon

Benteng terbesar di Mesir, Babilon, dikepung berbulan-bulan. Muslimin tetap teguh, shalat berjamaah di depan benteng setiap hari.

“Kalian punya tiga pilihan: masuk Islam, atau membayar jizyah, atau perang hingga salah satu dari kita binasa.”

Akhirnya, benteng Babilon menyerah.

Jatuhnya Alexandria

Tahun 21 H / 642 M, Alexandria—kota indah di tepi laut—jatuh ke tangan kaum Muslim. Dengan itu, seluruh Mesir tunduk pada panji Islam.

“Demi Allah, hari ini Allah telah membuka untuk kita negeri yang akan menjadi perbendaharaan kaum Muslimin. Dari sinilah Islam akan bersinar ke barat.”

Fusthath: Kota Baru

Amr tidak menjadikan Alexandria sebagai ibu kota. Ia mendirikan kota baru di dekat benteng Babilon: **Fusthath**. Di sanalah masjid pertama Mesir dibangun—Masjid Amr bin al-‘Āsh—yang masih berdiri hingga kini.

Warisan

Penaklukan Mesir menjadi salah satu capaian terbesar umat Islam. Bukan hanya negeri kaya yang terbuka, tapi juga pintu dakwah ke Afrika Utara. Semua itu terjadi di bawah kepemimpinan seorang sahabat yang dulunya musuh keras Islam—Amr bin al-‘Āsh.

Masa Tua dan Wafat

Mesir, awal tahun 43 H (664 M). Matahari sore jatuh di atas kota Fusthath. Burung-burung berputar di menara Masjid Amr bin al-‘Āsh, masjid yang ia bangun sendiri. Di rumahnya yang sederhana, sang panglima tua terbaring lemah. Tubuh yang dulu perkasa kini digerogoti usia dan sakit.

Di sekelilingnya duduk anak-anak dan murid-muridnya. Wajah mereka muram, namun mata Amr tetap bercahaya.

Penyesalan Seorang Panglima

“Dulu, sebelum aku mengenal Muhammad ﷺ, aku adalah orang yang paling keras memusuhinya. Demi Allah, seandainya aku mati ketika itu, pastilah neraka tempatku.”

Ia terdiam, lalu melanjutkan dengan air mata:

“Kemudian Allah memasukkan Islam ke dalam hatiku. Sejak hari itu, tidak ada seorang pun yang lebih aku cintai daripada Rasulullah ﷺ. Aku bahkan tak sanggup menatap wajahnya lekat-lekat, karena hormatku begitu dalam.”

Wasiat Terakhir

Anak-anaknya bertanya lirih: “Ayah, engkau telah menaklukkan negeri-negeri, membangun masjid, dan menyebarkan Islam. Mengapa engkau menangis?”

Amr menjawab: “Aku menangis karena aku tidak tahu, apakah Allah menerima amal-amalku atau menolaknya. Dunia ini telah menipu banyak orang, dan aku khawatir termasuk di dalamnya.”

Ia berpesan agar jenazahnya dikuburkan cepat, tanpa tangisan keras, dan wajahnya ditutup tanah. “Aku hanyalah hamba Allah yang penuh dosa, memohon ampunan-Nya.”

Saat-Saat Terakhir

Malam larut, nafas Amr kian berat. Ia mengangkat tangan ke langit:

“Ya Allah… Engkau memerintahkan kami, lalu kami lalai. Engkau melarang kami, lalu kami melanggar. Namun tiada Tuhan selain Engkau. Aku bersaksi Muhammad adalah utusan-Mu. Ampunilah aku, wahai Yang Maha Pengampun.”

Dengan kalimat tauhid di bibirnya, ruh panglima besar itu meninggalkan jasadnya.

Pemakaman di Mesir

Keesokan harinya, penduduk Fusthath berduyun-duyun mengiringi jenazahnya. Dari tentara hingga ulama, dari orang Arab hingga Mesir asli, semua mengenang jasanya.

“Semoga Allah merahmati Amr bin al-‘Āsh, penakluk Mesir, pembela Islam, dan hamba yang penuh penyesalan.”

Epilog

Demikianlah perjalanan hidup Amr bin al-‘Āsh:

  • Anak bangsawan Quraisy
  • Musuh keras dakwah Nabi ﷺ
  • Diplomat ulung yang gagal menghadapi Ja‘far di Habasyah
  • Muallaf yang luluh oleh kasih Nabi ﷺ
  • Panglima penakluk Mesir dan pendiri Fusthath
  • Hamba Allah yang wafat dalam tangisan taubat

🌟 Dari seorang musuh licik menjadi pahlawan Islam yang dikenang sepanjang zaman—itulah takdir Amr bin al-‘Āsh.

times;