Menyelami kisah kota yang menjadi jantung peradaban Islam, dari pasir Tigris hingga puncak ilmu pengetahuan.
Sore itu, matahari memantulkan kilau emas di permukaan Sungai Tigris yang tenang. Di tepi sungai, berdiri **Khalifah Abu Ja‘far al-Manshūr**, matanya menatap hamparan tanah luas. Angin padang pasir berhembus, namun sang khalifah seakan melihat bayangan masa depan yang gemilang. “Di sinilah,” ujarnya, “akan lahir sebuah kota… kota yang akan **menandingi segala kota dunia**.”
Seorang arsitek Persia, membawa rancangan melingkar di papan kayu, mendekat dan berlutut. Rencananya adalah membuat kota ini berbentuk bulat, dengan **istana dan masjid agung di pusatnya**, layaknya matahari yang memancarkan cahaya ke seluruh penjuru.
Al-Manshūr menyambut baik ide itu dan memutuskan nama resminya: **Madinat as-Salām—Kota Kedamaian**. Dunia, bagaimanapun, akan mengenalnya dengan nama yang lebih terkenal: **Baghdad**.
Pada tahun **762 M**, ribuan pekerja dari Syam, Persia, Kufah, dan berbagai penjuru berdatangan. Palu berdentum siang malam, membangun simfoni pembangunan. Lingkaran tembok besar mulai menjulang, dihiasi **empat gerbang raksasa** yang menghadap ke arah Kufah, Basrah, Syam, dan Khurasan—sebuah simbol bahwa Baghdad akan menjadi **simpul dunia**.
Di pusat lingkaran itu, berdiri megah **Qasr al-Khalīfah** (Istana Khalifah) dan masjid agung, dari mana jalan-jalan besar membentang seperti urat-urat kehidupan menuju gerbang kota.
“Wahai anakku, kota ini bukan hanya bentengku, bukan pula sekadar singgasana. Baghdad adalah warisan peradaban. Dari sinilah ilmu, kekuasaan, dan kebudayaan akan mengalir ke seluruh dunia.” - Pesan Al-Manshūr kepada putranya, al-Mahdī.
Rancangan kota melingkar Baghdad yang revolusioner.
Di bawah pemerintahan **Khalifah Harun al-Rasyid**, Baghdad menjelma menjadi nadi kehidupan yang tak pernah padam. Malam diterangi lampu minyak, dan suara hiruk pikuk pasar tak pernah berhenti. Baghdad bukan hanya kota dagang, melainkan juga kota iman, di mana suara azan Isya menggema dari Masjid Agung.
Pasar-pasar Baghdad dipenuhi barang dagangan dari seluruh penjuru bumi: sutra dari Tiongkok, rempah dari India, batu permata dari Khurasan, hingga madu dari Yaman. Baghdad adalah **pusat dunia**.
Di istana yang megah, Harun al-Rasyid, didampingi istrinya yang dermawan, **Zubaidah binti Ja‘far**, menyambut tamu-tamu penting. Suatu hari, **utusan dari Charlemagne**, raja besar Eropa, datang. Mereka takjub melihat kemewahan yang tak pernah mereka saksikan di Barat: karpet Persia berkilauan dan **jam air** yang berbunyi tepat waktu.
Di sudut-sudut kota, masjid dan madrasah dipenuhi murid. Para penerjemah bekerja tanpa lelah di Bayt al-Hikmah, mengubah naskah filsafat Yunani dan astronomi India ke dalam bahasa Arab. Seorang ulama Persia berujar, “Baghdad adalah lautan ilmu. Barang siapa datang ke sini dengan ember kecil, ia akan pulang dengan penuh.”
Malam hari, kisah-kisah rakyat beredar, tentang jin, pedagang, dan raja-raja ajaib. Para pendongeng menceritakan **Kisah Seribu Satu Malam**, menjadikan julukan Baghdad sebagai **Kota Seribu Malam** terasa begitu pas: tempat di mana agama, ilmu, dan kebudayaan berpadu menyinari dunia.
“Selama Baghdad berdiri, cahaya Islam takkan padam.” - Harun al-Rasyid
Di masa **Khalifah al-Ma’mun**, putra Harun al-Rasyid, fokus kejayaan beralih ke ranah intelektual. Ia berkata, “Ayahku membesarkan Baghdad sebagai kota kekuasaan. Aku akan membesarkannya sebagai **kota ilmu**.”
Maka berdirilah **Bayt al-Hikmah** (Rumah Kebijaksanaan), sebuah bangunan besar yang menjadi gudang ilmu pengetahuan dunia. Ribuan kitab dikumpulkan: naskah filsafat Yunani, ilmu astronomi India, kedokteran Persia, dan matematika kuno. Di sana, para penerjemah bekerja siang malam, menyatukan kearifan dari berbagai bahasa ke dalam bahasa Arab.
Bayt al-Hikmah menarik para ilmuwan terhebat:
Suatu hari, al-Ma’mun menyaksikan al-Khawārizmī menulis angka. Al-Khawārizmī menjelaskan bahwa ia sedang menciptakan **“bahasa baru bagi seluruh ilmu pengetahuan”**, yang dengannya manusia dapat menghitung bintang dan membagi tanah dengan adil. Al-Ma'mun pun menyuruhnya untuk terus berkarya.
Al-Ma’mun juga memerintahkan pembangunan **observatorium astronomi** di Baghdad. Dari sana, para ilmuwan mengukur lintasan bintang, menghitung panjang garis khatulistiwa, dan memperkirakan bentuk bumi. Sejarawan al-Bīrūnī menyebut khalifah ini bukan sekadar penguasa, tetapi **“pencari kebenaran di antara bintang-bintang.”**
“Kekuasaan bisa hancur oleh pedang, tapi ilmu akan hidup selama ada akal manusia. Selama Baghdad berdiri, cahaya ini tak akan padam.” - Al-Ma’mun
Dari Bayt al-Hikmah inilah, cahaya ilmu mengalir, tidak hanya ke seluruh dunia Islam, tetapi kelak juga ke Eropa, membangkitkan dunia dari tidurnya.
(Kolom komentar Facebook akan muncul setelah SDK diinisialisasi.)