Baghdad: Kota Seribu Malam

Dari Dinasti Abbasiyah, lahir cahaya ilmu dan budaya

Pembukaan

Matahari sore perlahan turun di ufuk Tigris, memantulkan cahaya keemasan di atas air yang berkilau. Di tepian sungai, berdiri Baghdad, kota megah yang disebut-sebut sebagai pusat dunia. Dari kejauhan, kubah-kubah masjid, istana, dan menara perpustakaan tampak berkilauan, seakan-akan bintang-bintang turun menyapa bumi.

Pada masa Dinasti Abbasiyah, Baghdad bukan hanya ibu kota kekuasaan, melainkan jantung ilmu pengetahuan, perdagangan, dan kebudayaan. Khalifah al-Manshur mendirikan kota ini pada tahun 762 M dengan bentuk melingkar sempurna, dikelilingi tembok dan gerbang megah. Tidak heran Baghdad dijuluki Madinat al-Salam – Kota Damai.

Di pasar-pasarnya, pedagang dari Persia, India, Cina, Afrika, bahkan Eropa bertemu. Rempah-rempah, kain sutra, emas, dan keramik berpindah tangan. Bahasa Arab menjadi lingua franca, menyatukan berbagai bangsa. Sementara itu, di istana, para ulama dan penyair kerap diundang untuk berdiskusi dengan khalifah.

Kisah Harun al-Rasyid, khalifah paling masyhur Abbasiyah, terukir abadi dalam cerita Alf Layla wa Layla – Seribu Satu Malam. Konon, setiap malam ia menyamar, berjalan di lorong-lorong kota untuk mendengarkan keluh kesah rakyat. Baghdad di masanya mencapai puncak kejayaan, menjadi kota terkaya dan terindah di dunia.

Istrinya, Zubaidah, terkenal karena kemurahan hati. Ia membangun saluran air sepanjang ribuan kilometer untuk jamaah haji dari Baghdad ke Mekkah, yang dikenal sebagai Darb Zubaidah. Hingga kini, sisa jalur itu masih bisa ditemukan di padang pasir Arabia.

Namun kejayaan Baghdad tidak hanya karena kekayaan materi, melainkan juga karena ilmunya. Di sinilah berdiri Bayt al-Hikmah, Rumah Kebijaksanaan. Perpustakaan dan pusat penerjemahan yang menampung ribuan manuskrip Yunani, Persia, India, dan Romawi. Para ilmuwan menerjemahkan, menyalin, lalu mengembangkan pengetahuan baru.

Nama-nama besar lahir di Baghdad: Hunayn ibn Ishaq yang menerjemahkan karya kedokteran Galen, al-Kindi filsuf Arab pertama, al-Khwarizmi sang bapak aljabar, dan Jabir ibn Hayyan, ahli kimia yang disebut “Bapak Alkimia”.

Pada masa Khalifah al-Ma’mun, Bayt al-Hikmah mencapai masa keemasan. Ia mendirikan observatorium di Baghdad dan Damaskus, mengukur kemiringan bumi, serta menghitung kelilingnya dengan akurasi menakjubkan. Ia bahkan mengirim tim ilmuwan untuk melakukan pengukuran di padang pasir Sinjar.

Al-Ma’mun juga memberi hadiah emas seberat buku kepada siapa pun yang menerjemahkan naskah asing. Maka mengalirlah karya-karya filsafat Plato, Aristoteles, dan Ptolemaios ke dalam bahasa Arab. Ilmu matematika, kedokteran, astronomi, hingga filsafat berkembang pesat, menyinari dunia Islam dan Eropa berabad-abad kemudian.

Baghdad menjadi rumah bagi para cendekiawan dari berbagai agama: Muslim, Kristen Nestorian, Yahudi, Zoroaster, bahkan ilmuwan dari India dan Cina. Di sini, perbedaan bukan penghalang, melainkan kekayaan. Seorang penyair menulis: “Baghdad adalah taman ilmu, di mana bunga-bunga hikmah tumbuh dalam berbagai warna.”

Kehidupan masyarakat Baghdad juga penuh warna. Anak-anak berlari di lorong sempit, pedagang roti dan kurma berteriak menawarkan dagangannya, sementara penyair mendendangkan syair di pasar. Malam hari, lampu-lampu minyak menerangi jalan, dan suara seruling mengalun dari tepi sungai Tigris.

Namun di balik itu semua, Baghdad juga menjadi medan perdebatan intelektual. Di istana khalifah, para ulama, filosof, dan teolog berdiskusi tentang akidah, hukum, hingga ilmu alam. Perdebatan antara Mu’tazilah dan Ahlus Sunnah mencapai puncaknya pada masa al-Ma’mun dengan mihnah (ujian inkuisisi).

Meski penuh gejolak, suasana itu menandai betapa hidupnya intelektualitas Baghdad. Bagi orang-orang dari negeri jauh, kota ini adalah magnet ilmu. Sejarawan dari Tiongkok hingga Andalusia menulis kekaguman mereka terhadap Baghdad, kota yang disebut “Permata Dunia”.

Kemakmuran Baghdad terlihat dari pasar-pasarnya yang ramai. Suq besar dipenuhi pedagang rempah, kain sutra, parfum, dan perhiasan. Toko-toko buku menjual manuskrip berharga, sementara kafe-kafe sederhana menjadi tempat orang berdiskusi sambil minum kopi dan teh herbal.

Di jalan-jalan utama, unta dan kuda membawa barang dari negeri jauh. Kapal-kapal dari Basrah menyusuri Tigris, membawa barang dagangan dari Teluk Persia. Baghdad benar-benar menjadi simpul perdagangan internasional, menghubungkan Timur dan Barat.

Kesenian pun berkembang. Penyair seperti Abu Nuwas menulis syair tentang cinta, anggur, dan kehidupan kota. Musisi mengisi istana dengan lantunan melodi, sementara para pelukis menghiasi manuskrip dengan ilustrasi indah. Seni kaligrafi Arab mencapai puncaknya, menghiasi masjid, istana, dan halaman buku.

Kehidupan sosial di Baghdad penuh dengan keanekaragaman. Ada masjid megah tempat ulama memberi pengajian, gereja tempat umat Kristen beribadah, serta sinagoga Yahudi yang hidup berdampingan damai. Di rumah-rumah besar, keluarga kaya mengadakan majelis ilmu, mengundang ulama dan filosof untuk berdiskusi.

Namun, Baghdad juga memiliki sisi gelap. Perbedaan kelas sangat mencolok. Para bangsawan hidup mewah, sementara rakyat miskin tinggal di rumah-rumah sederhana dari tanah liat. Meski begitu, solidaritas sosial tetap ada; orang kaya sering menyumbang makanan di bulan Ramadan, dan lembaga wakaf mendukung pendidikan serta kesehatan.

Kota ini juga dipenuhi cerita rakyat. Kisah petualangan, cinta, dan keajaiban beredar dari mulut ke mulut, lalu dibukukan dalam Alf Layla wa Layla (Seribu Satu Malam). Dari kisah Aladdin, Sinbad, hingga Ali Baba, semua lahir dari imajinasi yang dipupuk di Baghdad.

Namun, sebagaimana roda sejarah berputar, kejayaan Baghdad perlahan memudar. Pertikaian politik, pemberontakan, dan konflik internal melemahkan Dinasti Abbasiyah. Serangan dari luar semakin sering terjadi, sementara khalifah kehilangan wibawa di mata rakyatnya.

Puncak tragedi datang pada tahun 1258 M, ketika pasukan Mongol di bawah Hulagu Khan mengepung Baghdad. Selama berhari-hari kota itu diserang tanpa ampun. Tembok megah runtuh, istana hancur, dan Sungai Tigris dikatakan menghitam oleh tinta ribuan buku yang dibuang ke dalamnya dari Bayt al-Hikmah.

Pembantaian terjadi, ratusan ribu jiwa melayang. Khalifah al-Musta’sim dibunuh, mengakhiri masa Abbasiyah di Baghdad. Dunia Islam terguncang; pusat ilmu pengetahuan yang selama berabad-abad menjadi cahaya, kini padam oleh api peperangan.

Meski demikian, warisan Baghdad tidak pernah benar-benar hilang. Ilmu yang telah ditulis, diterjemahkan, dan diajarkan, telah menyebar jauh ke Andalusia, Mesir, hingga Eropa. Karya-karya filsafat, matematika, kedokteran, dan astronomi dari Baghdad menjadi fondasi bagi kebangkitan Eropa, Renaissance, dan sains modern.

Baghdad dikenang bukan hanya sebagai kota yang runtuh oleh Mongol, tetapi sebagai kota yang pernah menjadi jantung dunia. Sebuah tempat di mana ilmu dan budaya bertemu, di mana manusia dari berbagai bangsa dan agama hidup berdampingan dalam semangat mencari pengetahuan.

Sampai hari ini, nama Baghdad masih memanggil imajinasi. Kota Seribu Malam, taman ilmu, dan pusat peradaban yang pernah menyinari dunia. Ia menjadi pelajaran berharga: bahwa ilmu, toleransi, dan persatuan mampu membawa kejayaan, sementara perpecahan dan kerakusan dapat menghancurkannya.

```html

Galeri Baghdad

Bagikan artikel ini:

📘 🐦 💬
🗺 🏠
🖥 Browser: | 💻 OS: | 📍 Lokasi: Baghdad 🇮🇶
×
times;