Memahami DNA Muhammadiyah: Teologi Al‑Ma’un
Muhammadiyah. Nama organisasi Islam ini dikenal luas di Indonesia, bukan hanya karena sekolah dan universitasnya, tetapi juga rumah sakit, panti asuhan, dan klinik di pelosok negeri. Semua gerakan besar ini berakar dari satu inti ajaran yang sangat mendasar, yang sering disebut sebagai “DNA Muhammadiyah”: Teologi Al‑Ma’un.
Teologi ini bukan sekadar kajian di ruang kuliah, melainkan sebuah seruan yang mendesak untuk bertindak.
Inti Teologi Al‑Ma’un: kritik terhadap ibadah ritual
DNA Muhammadiyah berasal dari pemahaman mendalam K.H. Ahmad Dahlan terhadap Surat Al‑Ma’un. Konon, beliau berulang kali mengajarkan surat ini kepada murid‑muridnya hingga mereka benar‑benar menangkap pesannya.
Surat Al‑Ma’un dimulai dengan pertanyaan retoris: Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Jawabannya langsung menusuk ke jantung kemanusiaan, bukan pada ritual keagamaan semata. Orang yang mendustakan agama adalah:
Orang yang menghardik anak yatim.
Orang yang tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.
Di sinilah letak revolusi berpikir K.H. Ahmad Dahlan. Beliau menunjukkan bahwa ibadah ritual (seperti salat) menjadi kosong maknanya jika tidak dibarengi dengan kepedulian sosial yang konkret.
Ibadah vertikal vs. ibadah horizontal
Muhammadiyah mengajarkan bahwa Islam adalah keseimbangan sempurna antara Ibadah Vertikal (hubungan dengan Tuhan, seperti salat dan puasa) dan Ibadah Horizontal (hubungan dengan sesama manusia).
Teologi Al‑Ma’un bertindak sebagai alat koreksi. Jika seseorang rajin salat, tetapi hatinya kaku dan tangannya tertutup untuk anak yatim dan fakir miskin, ia termasuk dalam kategori orang yang celaka (sebagaimana kelanjutan surat tersebut).
Transformasi nilai menjadi gerakan Amal Usaha
Kesadaran akan Teologi Al‑Ma’un ini tidak berhenti sebagai wacana, melainkan diubah menjadi Gerakan Amal Usaha (AUM) yang masif. Inilah cara Muhammadiyah membumikan teologi:
Membentuk panti asuhan (menjaga anak yatim): Mengganti tindakan menghardik dengan merawat, mendidik, dan memberi masa depan. Panti asuhan menjamin hak‑hak anak yatim secara terstruktur.
Mendirikan rumah sakit dan klinik (memberi kepada fakir miskin): Implementasi “memberi makan” dalam arti luas—memenuhi kebutuhan dasar seperti pendidikan dan kesehatan yang layak, terutama bagi dhuafa.
Mencerdaskan bangsa (pendidikan): Akses pendidikan berkualitas untuk semua kalangan adalah cara paling fundamental mengangkat martabat dan memutus rantai kemiskinan struktural.
Pernyataan kritis, aksi pragmatis
Muhammadiyah memilih jalan yang pragmatis dan tepat sasaran: alih‑alih retorika belaka, mereka membangun sistem (Amal Usaha) agar kepedulian tersalurkan secara profesional dan berkelanjutan.
Karena itu, DNA Muhammadiyah adalah Al‑Ma’un: iman sejati mesti terlihat sebagai kontribusi nyata menyelesaikan masalah sosial. Ukur kuatnya iman—lihat kuatnya kepedulian terhadap yang lemah dan rentan.
Teologi Al‑Ma’un adalah pengingat abadi: jangan biarkan ibadah ritual membuat kita lupa pada kewajiban kemanusiaan.
Konteks tambahan santai
Kalau kita tarik garis, Al‑Ma’un itu sederhana: jangan sampai doa kita tinggi, tapi tangan kita enggan menolong. Itulah kenapa gerakan yang konkret—panti, klinik, sekolah—jadi napas panjang Muhammadiyah. Iman yang bergerak, bukan sekadar wacana.
Kolom komentar