
Ibnu Batutah—penjelajah Muslim asal Maroko—bukan sekadar pelancong; ia adalah saksi hidup peradaban. Selama 29 tahun, ia menjahit dunia Islam dari Maghrib hingga Cina dan Nusantara, menempuh lebih dari 120.000 km, mencatat detail yang membuat kita serasa ikut berjalan di sampingnya.
Asal-usul dan nasab
Nama lengkapnya: Abu ‘Abdullah Muhammad bin ‘Abdullah bin Muhammad bin Ibrahim al-Lawāti al-Tanji, lebih dikenal dengan Ibnu Batutah (ابن بطوطة). Ia lahir di Tangier (Ṭanjah), wilayah Maghrib (Maroko) pada 24 Februari 1304 M / 703 H. Keluarganya dari kabilah Lawāta, suku Berber besar di Afrika Utara. Lingkungan ilmiah dan fikih Maliki membentuk masa kecilnya—ayah dan kakeknya adalah ulama sekaligus qādhi di Tangier.
Masa muda dan pendidikan
Sejak muda, ia mencintai ilmu dan perjalanan. Belajar agama, fikih, bahasa Arab, hadis, dan sejarah Islam di Maghrib, ia punya ingatan yang kuat dan rasa ingin tahu besar tentang Makkah, Madinah, Baghdad, Mesir, dan Syam—pusat ilmu kala itu. Kerinduan haji memantik tekadnya untuk melihat dunia Islam dengan mata kepala sendiri.
Niat besar: menunaikan haji
Tahun 725 H / 1325 M, saat berusia 21, ia menulis dalam Rihlah:
Berbekal keledai kecil, perlengkapan dasar, dan sedikit uang, ia menempuh rute panjang penuh gurun dan negeri asing—keyakinan menguatkannya untuk terus melangkah.
Awal perjalanan dan Afrika Utara
Ia melintasi Aljazair (Tilimsan, Bijaiah, Qusanthînah) menuju Tunis, bergabung dengan rombongan haji Ifriqiyah. Sakit di jalan, bekal menipis, namun niatnya teguh: “Aku tak akan kembali sebelum haji di Tanah Haram.” Di kota-kota seperti Bona, Aljazair, Tunis, Tripoli, ia menghadiri majelis ulama, menghafal hadis, dan menyerap adat masyarakat.
Rihlah ke Mesir
Dari Tripoli ke Alexandria, ia takjub pada menara dan masjid Mesir. Bertemu ulama besar dan sufi, termasuk Syaikh Burhānuddīn al-Lakhmī yang bertutur: “Engkau akan mengunjungi saudaraku di India dan Tiongkok.” Kelak, firasat itu terbukti.
Dari Mesir ke Syam
Ia menuju Damaskus—kebun, air, dan Masjid Jami’ Umayyah memikat hatinya. Ia belajar pada para ulama dan bergabung rombongan haji resmi dari Syam, jalur yang aman di bawah Mamluk.
Sampai di Tanah Suci
Tiba di Makkah setelah setahun lebih perjalanan, air matanya jatuh melihat Ka’bah:
Ia menunaikan haji khusyuk, bermukim di Makkah, memperdalam fikih dan hadis di Masjidil Haram.
Akhir perjalanan pertama
Niat pulang ke Maroko urung. Cinta perjalanan dan ilmu mendorongnya ke Irak, Persia, India, Tiongkok, hingga Samudra Pasai. Inilah awal petualangan 29 tahun yang legendaris.
Menuju Irak dan Persia
Ia mengarah ke Baghdad, kota ilmu dan perdagangan: Masjid al-Kadhimiyyah, al-Mustansiriyah, rawa Tigris—Eufrat, masyarakat ramah dan berilmu. Ia belajar fikih Syafi’i dan Maliki, menghafal hadis, kagum pada perpustakaan. Lalu ke Khorasan dan Persia: Basra, Isfahan, Rayy, Nishapur—gunung, padang, kota bersejarah, ulama yang hangat, budaya yang kaya.
India: Delhi dan menjadi qādhi
Delhi di bawah Sultan Muhammad bin Tughluq: istana megah, pasar ramai, Masjid Quwwatul Islam. Ia diangkat sebagai qādhi, memimpin pengadilan, mengawasi ulama dan pendidikan, mempelajari adat lokal yang berbeda dengan Arab dan Persia. Ia berkeliling barat India, pelabuhan menuju Maladewa—Sri Lanka, berinteraksi dengan raja kecil dan pedagang.
Nusantara maritim
Dari India ke selatan menyeberang Samudra Hindia. Ia singgah di Maladewa—ramah, Islam hidup, bahkan menjadi qādhi di sana. Lalu ke Samudra Pasai (Aceh): pelabuhan makmur rempah, emas, sutra; penduduk taat; Sultan memuliakan ulama. “Iman mereka teguh seperti di Makkah dan Baghdad.”
Menuju Cina
Ia tiba di Quanzhou (Fujian), menyaksikan perdagangan global, masjid pedagang Muslim, budaya teh, sutra, kota bersih dan disiplin. Tercatat pula penghormatan pada ilmu—kaisar memintanya memberi nasihat bagi komunitas Muslim.
Pulang ke Maroko dan warisan
Ia kembali melalui rute laut—darat, singgah di Nusantara, India, Persia, Mesir, lalu Tangier. “Aku pulang dengan ilmu dan pemahaman luas tentang dunia.” Perjalanannya dibukukan menjadi Rihlah oleh Ibn Juzayy atas permintaan Sultan Maroko—warisan yang merekam budaya, perdagangan, hukum, dan spiritualitas dunia Islam abad ke-14.
Galeri foto
