
Kita sering dengar nama Al-Ghazali, Hujjatul Islam. Tapi di balik gelar itu, ada perjalanan hati yang panjang: kejayaan akademik, krisis yang mengguncang, pengasingan untuk mencari jernihnya iman, lalu kembali dengan warisan ilmu yang menyatukan syariat, akal, dan tasawuf.
Masa Kecil & Pendidikan Awal
Al-Ghazali lahir tahun 1058 M di Ṭūs, Khurasan (Iran). Ayahnya seorang sufi sederhana yang memintal wol, mencintai ilmu, dan berdoa agar anaknya jadi ulama. Usai ayahnya wafat, ia dan Ahmad diasuh sahabat ayah, seorang sufi, dan dari sana ia mulai belajar agama. Ia menekuni fiqih di madrasah lokal, lalu melanjutkan ke Nishapur berguru kepada Imam al-Haramain al-Juwaini: belajar fikih, ushul, logika, filsafat, hingga debat.
Menjadi Ulama Besar
Kecerdasannya melesat. Usai gurunya wafat, Al-Ghazali dipanggil wazir Nizam al-Mulk untuk mengajar di Madrasah Nizamiyah, Baghdad, kampus paling bergengsi kala itu. Di usia sekitar 33 tahun, ia sudah jadi guru besar, muridnya ribuan: ulama, pejabat, calon pemimpin.
Krisis Spiritual
Di puncak karier, hatinya kosong. Ia meragukan: apakah debat dan logika benar-benar menuntun ke kebenaran? Sampai-sampai suaranya hilang ketika hendak mengajar. Dalam al-Munqidh min al-Ḍalāl, ia bertanya: “Apakah kepastian hanya lewat logika? Apakah iman cukup ikut-ikutan atau perlu nurani yang mantap?” Lalu ia tinggalkan Baghdad, jabatan, murid, harta, untuk mencari yang sejati.
Mengasingkan Diri & Mencari Kebenaran
Di Damaskus, ia menyepi di menara Masjid Umayyah: shalat sunnah, dzikir, membaca Al-Qur’an, tafakur, menulis cikal-bakal Ihya’. Lanjut ke Yerusalem, berdiam di al-Aqsha, memperbanyak munajat, merenungkan jejak para nabi. Puncaknya di Hijaz: haji di Mekkah dan ziarah ke Madinah. Hampir 10 tahun ia hidup sederhana, mendalami tasawuf; akal penting, tapi cahaya imanlah yang menenangkan hati.
Kembali Mengajar & Menulis
Pulang dengan jiwa baru, ia mengajarkan keseimbangan: syariat, akal, tasawuf. Ia menulis Ihyā’ ‘Ulūm ad-Dīn, ensiklopedia ibadah, akhlak, adab, tasawuf, yang jadi rujukan besar dunia Islam. Selain itu: Tahāfut al-Falāsifah (kritik filsafat berlebihan), Maqāṣid al-Falāsifah (ringkasan pemikiran), dan al-Munqidh min al-Ḍalāl (otobiografi krisis).
Akhir Hayat
Di Ṭūs, ia menutup hidupnya dengan tenang (1111 M). Saudaranya meriwayatkan pagi wafatnya: berwudhu, shalat, berkata “Bawakan kain kafanku,” lalu memeluknya dan berpulang. Warisannya hidup dalam akal dan hati umat, hingga pengaruhnya menembus Eropa lewat terjemahan Latin.
Karya-Karya Penting
- Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn → ilmu agama, akhlak, tasawuf.
- Tahāfut al-Falāsifah → kritik terhadap ekses filsafat.
- Al-Munqidh min al-Ḍalāl → otobiografi intelektual, spiritual.
- Maqāṣid al-Falāsifah → ringkasan pemikiran para filosof.
Galeri foto
