1980-1990
“Larangan ini terjadi secara masif selama masa pemerintahan di era Orde Baru. Puncaknya terjadi di pertengahan 1980-an dengan penegasan regulasi yang melarang penggunaan seragam di luar ketentuan baku, yang pada dasarnya menyasar jilbab. Pemerintah saat itu melihat atribut keagamaan yang terlalu menonjol, seperti jilbab, sebagai potensi ancaman terhadap stabilitas negara dan simbol perlawanan terhadap ideologi tunggal negara, Pancasila. Ada kekhawatiran bahwa ekspresi keagamaan yang kuat dapat menghalangi penerapan asas tunggal dan persatuan nasional.”
Implikasi kebijakan ini sangat berat bagi para siswi. Mereka dihadapkan pada dilema yang sangat sulit: melepas jilbab demi melanjutkan pendidikan di sekolah negeri, atau tetap berjilbab tetapi harus pindah ke sekolah swasta (biasanya sekolah Islam) yang biayanya seringkali lebih mahal dan aksesnya terbatas. Tekanan ini menimbulkan gelombang protes dan perdebatan, baik di kalangan tokoh agama, orang tua, maupun aktivis.
Situasi ini akhirnya mereda setelah hampir satu dekade. Larangan tersebut secara resmi dicabut pada 16 Februari 1991, melalui penerbitan Surat Keputusan (SK) Nomor 100/C/Kep/D/1991, oleh Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah saat itu, Bambang Triantoro. Pencabutan SK ini menandai kembalinya hak siswi Muslim untuk mengenakan jilbab di lingkungan sekolah negeri, dan menjadi momen penting dalam sejarah kebebasan berekspresi keagamaan di Indonesia.