Fenomena pengguna biasa yang mulai “menelan pil pahit” karena kurangnya jenis aplikasi tertentu (seperti aplikasi format UWP/APPX dari Windows Store) dan akhirnya beralih melirik Linux adalah hal yang makin sering terjadi. Mereka mencari kebebasan, keamanan, dan efisiensi yang ditawarkan Linux.
Namun, di balik harapan itu, muncul jurang pemisah yang besar: pengguna awam ini sama sekali tidak ingin, dan sebenarnya tidak harus, menyentuh Terminal atau CLI. Mereka terbiasa dengan pengalaman “point‑and‑click” ala Windows atau macOS. Mereka hanya ingin semuanya bekerja dengan lancar, dari instalasi hingga penggunaan harian, cukup dengan mouse dan antarmuka grafis (GUI).
Inilah inti dari masalah yang perlu kita kembangkan.
Jurang pemisah: harapan GUI vs. realitas CLI
Bagi pengguna yang hanya mengenal desktop environment, Terminal adalah momok: simbol kerumitan, “tempat programmer”, atau “langkah terakhir” memperbaiki sesuatu.
Bug kecil: Audio, driver, atau error paket seringnya “paling cepat” via satu baris perintah.
Instalasi software lanjutan: Pusat aplikasi ada, tapi PPA/repo pihak ketiga kerap butuh CLI.
Manajemen sistem: Upgrade besar kadang disarankan via CLI untuk stabilitas.
Kondisi ini menciptakan kesenjangan pengalaman. Agar Linux menarik bagi ordinary user, gap ini harus ditutup.
Misi desainer distro: pengalaman full mouse/window manager
Misi utamanya: distribusi yang menjamin pengalaman 100% mouse‑driven, dari install sampai harian—berbasis Fedora yang stabil atau Ubuntu yang populer, terserah, yang penting zero‑CLI.
1) Zero‑CLI installation & setup
Pusat aplikasi andal: Software Center yang mampu mengelola DEB/RPM/Flatpak/Snap dengan satu klik. Pengguna tak perlu tahu
apt
/dnf
.Driver otomatis: Deteksi dan instalasi driver (NVIDIA/Wi‑Fi tertentu) terjadi di latar belakang atau lewat panel grafis sederhana.
2) Mengisi kekosongan aplikasi Windows
Integrasi Wine/Proton mulus: Menjalankan aplikasi Windows via Software Center satu klik, bukan konfigurasi Terminal.
Ekosistem aplikasi berkualitas: Office, video editor, photo editor profesional tersedia sebagai Flatpak/Snap yang dioptimalkan dan mudah ditemukan.
3) Merinci pengalaman GUI yang hilang (the missing gap)
Pengembang harus benar‑benar bertindak sebagai pengguna biasa: tak menyentuh CLI, dan mencatat setiap momen frustrasi untuk ditutup dengan solusi GUI.
Masalah yang ditemukan | Solusi GUI yang dibutuhkan |
---|---|
Drive eksternal NTFS bermasalah saat mounting | Tombol “Perbaiki Drive” di File Manager dengan auth kata sandi |
Resolusi layar eksternal rumit diatur | Panel multi‑monitor intuitif dengan drag‑and‑drop |
Pembaruan kernel memicu masalah driver | Fitur rollback kernel di panel pengaturan grafis |
Tujuan akhirnya: pengguna pindahan berkata, “Wah, ternyata Linux semudah Windows, bahkan lebih baik.”
Konteks tambahan santai
Kalau kita jujur: Terminal itu kuat, tapi bukan identitas wajib. Identitas Linux ke depan mestinya “apa saja bisa dengan mouse”—install, perbaiki, upgrade, bahkan jalankan app Windows. Begitu mouse‑driven sempurna, cerita “Linux susah” akan selesai.
Kolom komentar