Pada November 1717, kapal dagang budak Prancis La Concorde berangkat dari pantai Afrika Barat menuju Karibia, membawa ratusan orang Afrika yang diperbudak. Namun perjalanan itu berubah menjadi tragedi sejak awal, ketika penyakit, kematian, dan keputusasaan merenggut banyak nyawa, sebelum takdir mengambil alih. Dekat pulau Martinique, kapal itu dicegat oleh seorang bajak laut legendaris bernama Edward Teach, yang lebih dikenal dunia dengan julukan: Blackbeard (Si Janggut Hitam).

Kru kapal yang kelelahan dan hancur semangatnya tidak memberikan perlawanan berarti, sehingga kapal jatuh ke tangan Blackbeard dengan mudah. Namun ia tidak melanjutkan jalannya dalam perdagangan manusia, melainkan membalikkan nasib kapal itu sepenuhnya. Ia melengkapinya kembali secara total dan mengubahnya menjadi kapal perang yang dahsyat, menamainya Queen Anne’s Revenge (Balas Dendam Ratu Anne). Kapal itu menjadi permata armadanya sekaligus salah satu kapal terkuat yang mengarungi Karibia, dengan meriam-meriamnya yang berkilauan dan menghadirkan teror di setiap pelabuhan.
Beberapa catatan sezaman menyebutkan bahwa banyak orang Afrika di dalam kapal memperoleh kebebasan mereka, sementara sebagian lainnya – terutama yang memiliki keterampilan atau pengalaman pelayaran – memilih bergabung dengan krunya. Pada masa ketika masyarakat sangat terikat diskriminasi dan perbedaan kelas, kapal-kapal bajak laut dikenal dengan semacam kesetaraan keras, di mana harta rampasan dibagi rata tanpa memandang asal-usul atau warna kulit, meskipun kehidupan laut tetap penuh risiko dan kekerasan.
Perebutan La Concorde bukanlah sekadar rampasan biasa, melainkan peristiwa yang mengangkat Blackbeard ke derajat legenda. Kapal yang lahir dari penderitaan manusia itu berubah menjadi kapal bajak laut terbesar pada zamannya, sehingga lahirlah salah satu kisah paling menakjubkan dari zaman keemasan perompakan.
Tambahan konteks santai: Bayangkan deru angin, suara tali-temali, dan gemuruh meriam—Queen Anne’s Revenge bukan cuma kapal; ia panggung besar di mana nasib manusia ditulis ulang. Di atas geladaknya, mereka yang semula dijerat rantai menemukan celah untuk memilih, meski harga kebebasan di laut selalu dibayar dengan keberanian.