Perbedaan fikih itu ada dan akan terus ada. Yang dibutuhkan: akhlak ketika berbeda. Qunut Subuh? Kalau imam qunut, ikut aminkan. Kalau imam tidak qunut, jangan dipaksa—panjangkan i’tidal agar yang ingin qunut bisa melakukannya sendiri. Tenang, rukun, selesai.
Ringkasan sikap praktis
- Makmum anti qunut → imam qunut: tetap ikut mengangkat tangan dan aminkan doa qunut.
- Imam anti qunut → jamaah suka qunut: imam memanjangkan i’tidal (dzikir “Rabbana wa lakal hamd…” beserta pujian) agar makmum sempat berqunut sendiri.
- Tidak dengar doa qunut imam: makmum boleh berdoa sendiri saat itu.
Kutipan ulama
مسألة فإن ائتم بمن يقنت في الفجر أو في النازلة تابعه
الدليل حدبث إنما جعل الإمام ليؤتم به فلا تختلفوا عليه
“Jika bermakmum kepada imam yang berqunut pada Subuh atau saat nazilah, hendaknya ia mengikutinya. Dalilnya: ‘Imam itu diangkat untuk diikuti. Karena itu, jangan menyelisihinya.’”
وأمن المؤموم إن كان يسمع القنوت وإن لم يسمع القنوت دعا
“Makmum mengaminkan doa qunut jika mendengar; jika tidak mendengar, ia berdoa sendiri.”
قال في الاختيارات: وإذا فعل الإمام ما يسوغ فيه الاجتهاد تبعه المأموم فيه وإن كان هو لا يراه مثل القنوت في الفجر ووصل الوتر
Ibnu Taimiyah (dalam al-Ikhtiyārāt): “Jika imam melakukan perkara yang termasuk wilayah ijtihad, maka makmum mengikutinya meski ia pribadi tidak berpendapat demikian; seperti qunut Subuh dan witir tiga rakaat sekaligus.”
Galeri
Setenang i’tidal, sehangat doa—biar hati adem.

Penutup
Perbedaan boleh, perpecahan jangan. Kalau kita sepakat menjaga adab berjamaah, qunut atau tidak qunut akan tetap terasa hangat—karena yang utuh adalah barisan dan hati.