Sultan Murad III – Antara Cahaya Ilmu dan Bayangan Kemewahan
Potret lembut seorang penguasa: tumbuh dalam taman, musik, dan puisi; memimpin di tengah intrik; mencintai ilmu dan kesenian, namun menanggung beban perang dan birokrasi.
Sejarah Utsmani
Waktu baca: ~8 menitBrowserOSIP🏳️
Murad III di era puncak budaya istana Topkapi — musik, puisi, dan ilmu.
Lahir di Tengah Kemewahan Tahun 1546 M, di Istana Topkapi yang megah di Istanbul, lahirlah seorang bayi laki-laki yang kelak akan menjadi Sultan: Murad, putra dari Selim II dan Nurbanu Sultan, seorang wanita cerdas keturunan Venesia yang dibesarkan dalam lingkungan Islam dan pendidikan istana. Ia dibesarkan bukan di medan perang seperti kakeknya Sulaiman, tetapi di tengah keindahan taman, musik, dan puisi.
Sejak kecil, Murad diajari oleh ulama dan guru sufi, menghafal Al-Qur’an, mempelajari sejarah para khalifah, dan menulis syair berbahasa Persia serta Turki. Namun, bayang-bayang kemewahan istana telah menempel dalam darahnya sejak muda. Ia tumbuh di masa ketika Kekhalifahan Utsmani sudah berada di puncak kekayaan, tapi juga mulai kehilangan ruh kesederhanaannya.
Naik tahta 1574
Saat ayahnya, Selim II, wafat pada tahun 1574, Murad yang baru berusia 28 tahun naik tahta. Ia dilantik di Istana Topkapi dengan penuh keagungan. Pasukan Janissari, wazir, ulama, dan pejabat berkumpul, berseru:
“Hidup Sultan Murad Khan, Khalifah Islam, Penjaga Dua Tanah Suci!”
Namun, sejak hari pertama, Murad dihadapkan pada konflik batin. Ia harus menegakkan pemerintahan yang luas dan kaya, tapi penuh intrik politik dan pengaruh wanita istana, terutama ibunya Nurbanu Sultan, yang memiliki kekuasaan besar di balik tirai.
Zaman wanita istana dan politik harem
Masa Murad III dikenal sebagai awal dari “Zaman Wanita Istana” — masa ketika para wanita bangsawan dan ibu sultan memiliki pengaruh besar dalam pemerintahan. Nurbanu Sultan, ibu Murad, sangat berkuasa. Ia bekerja sama dengan Safiye Sultan, istri Murad yang cerdas keturunan Albania. Keduanya sering bersaing dalam pengaruh, diplomasi, dan keputusan politik.
Sokollu Mehmed Pasha — wazir besar yang bijak sejak masa Sulaiman dan Selim II — mencoba menjaga keseimbangan, tetapi pada 1579 M ia dibunuh oleh seorang fanatik di masjid. Kematian itu menjadi pukulan besar:
“Saat darah Sokollu jatuh ke lantai masjid, jatuh pula keseimbangan pemerintahan Utsmani.”
Kekhalifahan yang dihormati dunia
Meski intrik melanda, daulah Utsmani tetap menjadi kekuatan besar. Murad III menjalin hubungan dengan Ratu Elizabeth I (melalui William Harborne) dan membuka jalur dagang Islam-Barat, berkorespondensi dengan Akbar di India, Shah Abbas di Persia, serta para penguasa Muslim Afrika Utara. Istanbul tetap berdenyut sebagai pusat ilmu dan perdagangan lintas benua.
Perang panjang melawan Safawi
Sejak 1578, Murad III terlibat perang besar melawan Dinasti Safawi. Perang berlangsung 12 tahun (1578–1590). Lala Mustafa Pasha dan Ferhad Pasha menaklukkan Tiflis, Azerbaijan, bahkan Tabriz sempat kembali dikuasai. Wilayah timur Utsmani menyentuh Kaspia.
Tapi biaya perang membuat ekonomi goyah: pajak naik, kas menipis, ketegangan sosial meningkat. Kemenangan teritorial tak mampu menutupi rapuhnya fondasi administrasi.
Zaman ilmu dan kesenian
Murad III adalah pelindung ulama dan seniman. Ia mendirikan madrasah baru, memperindah Ayasofya, dan memperluas Topkapi dengan taman serta ruang baca. Ia mencintai falak dan geografi.
Pada masa ini, Taqi al-Din membangun Observatorium Istanbul (1577) — salah satu yang paling maju pada masanya. Dibuat jam astronomi, model tata surya, dan tabel bintang untuk akurasi waktu shalat serta arah kiblat. Namun tekanan ulama konservatif membuat observatorium dihancurkan pada 1580 dengan cap “bid’ah”.
“Ketika bintang-bintang kita dihancurkan, gelap mulai turun di atas dunia Islam.”
Kemunduran perlahan
Murad III dikenal lembut, religius, dan puitis, tetapi mudah dipengaruhi. Di luar istana, korupsi, suap, dan perebutan jabatan tumbuh. Janissari memberontak saat gaji tertunda, pejabat menekan rakyat, dan hasil perang tak lagi memoles moral administrasi. Utsmani masih besar di peta, tetapi makin rapuh di tata kelola.
Akhir hidup sang sultan
Sultan Murad III wafat pada 15 Januari 1595, di usia 49 tahun, setelah memerintah 21 tahun. Dimakamkan di kompleks Ayasofya, di samping ayahnya, Selim II.
“Wahai anakku, aku mewariskan kepadamu dunia yang luas tapi rapuh. Bangunkan kembali semangat jihad dan ilmu, karena tanpa keduanya, kita hanya nama tanpa makna.”
Komentar